Terapi Jus Terbukti Menyembuhkan Kanker, Stroke, Jantung dan Penyakit-penyakit Berat Lainnya.
Napas Adnan Mubarok (54) ngos-ngosan dan dadanya kadang sesak. Bahkan pernah dalam sebulan ia pingsan tiga kali. Setelah dibawa ke dokter, Adnan divonis sakit jantung koroner. Di Indonesia penyakit ini dibilang pembunuh nomor satu, karena saking banyaknya orang meninggal mendadak disebabkan serangan penyakit mematikan ini.
Dokter menyarankan Adnan operasi. “Karena terkendala dana, saya tidak mau”, kata pria yang tinggal di Jakarta, saat dihubungi lewat telepon seluler awal Maret lalu. Biaya operasinya memang tidak kecil. Adnan menyebut sekitar Rp. 150 juta.
Atas informasi kakaknya, Adnan kemudian memilih terapi jus yang bertempat di Batu, Jawa Timur. Di sini Adnan ditangani Parno Muttaqien menggunakan jus buah dan sayur. Lima belas hari minum jus, penyakit Adnan mulai berkurang. Napasnya normal dan sesak dadanya juga sudah hilang. “Alhamdulillah, sekarang kesehatan saya sudah pulih 70 persen”, kata Adnan yang ternyata juga menderita diabetes, hipertensi, vertigo, dan kadar kolesterol tinggi.
Yang merasakan mujarabnya terapi jus buatan Parno tak hanya Adnan. Rahmi Jened (50) juga merasakan hal yang sama. Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Airlangga Surabaya ini mendapat serangan stroke, tiga tahun lalu. Serangannya mendadak dan terbilang berat. “Di otak ada pendarahan 35 cc”, kata Rahmi.
Karena stroke itu, hampir sebulan Rahmi menginap di rumah sakit. Sayangnya, perkembangan penyakitnya tidak menunjukkan kesembuhan. “Karena tidak ada perkembangan, saya akhirnya pulang paksa”, katanya.
Rahmi lalu mencoba berbagai pengobatan alternatif. Salah satunya terapi dengan akupuntur dan jus buatan Parno. Dua pengobatan inilah yang dirasakan Rahmi paling berpengaruh dalam proses penyembuhan sakitnya. Kata Rahmi, setelah tiga bulan ikut program terapi Parno, ia kembali sehat.
Parno melakukan terapi dengan jus sejak tahun 2002. Bermula dari ibunya yang sakit rematik. Meski sudah minum berbagai obat, ibunya tak kunjung sembuh. Ia kemudian mencoba meramu jamu sendiri. Hasilnya bagus. “Ibu saya sembuh”, ujar Parno saat ditemui Suara Hidayatullah di rumahnya, beberapa waktu lalu.
Sesudah ibunya, kemudian yang menjadi “kelinci percobaan” adalah dirinya dan keluarganya. “Kalau sakit saya coba obati sendiri pakai jus buah dan sayur, tanpa obat dokter”, jelas Parno. Hasilnya juga bagus.
Kemampuan Parno mengobati penyakit itu akhirnya terdengar oleh tetangganya. Kalau sakit, di antara mereka ada yang datang ke Parno lalu minta diobati. Pasien pertamanya tak tanggung-tanggung, dia menderita penyakit kelas berat. “Kanker kelenjar getah bening”, kata Parno.
Menurutnya, ia sempat merasa dak dik duk. Maklum, pasiennya sempat mengalami kritis. Bukan lantaran minum ramuan jusnya, tetapi karena penyakitnya memang sudah kronis. Syukurnya, terapi pertama Parno itu sukses. “Orangnya masih hidup dan sehat hingga sekarang”, ujarnya.
Hingga kini sudah banyak orang berobat ke klinik Parno; Griya Terapi Tani. Berkas data pasien yang ditunjukkan ke majalah ini sudah lebih dari sejengkal tangan orang dewasa. Rata-rata pasien berpenyakit berat seperti kanker, jantung, thalassemia, diabetes, stroke dan sebagainya. “Alhamdulillah, sembilan puluh persen sembuh”, katanya.
Tapi buru-buru Parno menegaskan, yang menyembuhkan itu Allah SWT. Ia sekedar perantara saja. “Saya tidak ada apa-apanya. Saya hanya sebutir pasir di laut”, katanya merendah.
Terapi Jus Tanpa Efek Samping
Secara akademik, Parno memang tidak punya latar belakang ilmu kesehatan. Kemampuannya melakukan pengobatan dengan jus buah dan sayur diperoleh dari belajar autodidak. Di samping itu, ia kerap mengikuti forum-forum ilmiah semacam seminar pengobatan dan kesehatan.
Parno menyandang gelar insinyur pertanian. Ia juga pernah menempuh pendidikan pasca sarjana pertanian, tetapi di ujung studinya ia memilih mundur karena merasa ada yang tidak pas dengan prinsip hidupnya. Ia diminta menandatangani surat kesetiaan kepada pemberi beasiswa dari luar negeri. Parno dengan tegas menolak permintaan itu. “Saya tak mau menjadi antek mereka”, katanya.
Ia tak menyesal tidak mendapat ijazah, karena memang bukan itu tujuannya. Yang ia kejar adalah ilmu. “Dan saya sudah mendapatkan, walaupun tanpa ijazah,” katanya.
Sebagai sarjana pertanian, ia tahu betul kandungan yang ada di dalam buah dan sayur. Menurut ayah tiga anak kelahiran Magetan, Jawa Timur ini, antara manusia dan tanaman punya 19 unsur kesamaan. Dari unsur kesamaan itulah, ia membuat formula jus. “setiap tanaman bisa dibuat obat, karena di dalamnya mengandung enzim”, katanya.
Hanya, Parno menekankan buah dan sayuran yang dimaksud mesti dalam kondisi mentah. Jangan yang sudah dimasak. Katanya, kalau sudah dipanasi enzimnya bisa berubah.
Tentu saja ramuan jusnya tergantung penyakitnya. Tetapi setiap resep, kata Parno, minimal terdiri dari 19 jenis buah dan sayur. Masing-masing pasien, sekalipun penyakitnya sama, kata Parno, resepnya beda. “Tergantung hasil tes hematologi atau tes darah dan golongan darah pasien”, katanya.
Satu lagi yang ditekankan Parno, setiap pasiennya diminta menghentikan secara total obat sintetis saat menjalani terapi.
Menurut Reza Abudaeri, seorang apoteker di kota Malang, metode pengobatan Parno perlu dikembangkan dan disebarluaskan. Sebab, sudah terbukti memberi kesembuhan tanpa efek samping. “Konsep pengobatan Pak Parno itu merehabilitasi, bukan mengeksploitasi”, kata Reza.
Reza punya pengalaman menarik. Ia menderita diabetes akut. Karena penyakit ini ia mesti menelan obat setiap hari. Padahal sebagai apoteker, ia tahu persis bahwa obat itu bukan untuk menyembuhkan penyakitnya, “Obat diabetes berfungsi dua hal, mendorong pankreas memproduksi insulin lebih banyak atau untuk menetralisir gula dalam darah”, jelas Reza. Sementara sumber penyakitnya, yakni pankreas yang rusak tidak tersentuh.
Berbeda dengan pengobatan Parno. Menurut Reza, terapi jus buatan Parno justru memperbaiki pankreas. “Jadi, yang diobati sumber penyakitnya, bukan akibatnya”, tegas Reza.
Hasilnya, kata Reza, setelah ia mengikuti terapi jus, pankreasnya menjadi lebih baik. “Buktinya, sekalipun saya melanggar pantangan diabetes, kadar gula saya tetap normal”, kata Reza.
[Sumber: Suara Hidayatullah Edisi 01 / XXVIII/ Mei 2015; hal 58-59]